slideshow

Kamis, 20 Januari 2011

PERKAWINAN/PAWIWAHAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang

Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap.
Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan "Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang" artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka di atas, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara

Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas
Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.
Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.
  
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
  1. Apakah pengertian dari perkawinan/pawiwahan?
  2. Apakah makna dari perkawinan/pawiwahan?
c.   Apa saja peralatan upacara perkawinan/pawiwahan?
d.   Bagaimanakah tata cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan/pawiwahan

1.3       Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
  1. Untuk mengetahui pengertian dari perkawinan/pawiwahan.
  2. Untuk mengetahui makna dari upacara perkawinan/pawiwahan.
b.   Untuk mengetahui apa saja peralatan upacara perkawinan/pawiwahan.
c.   Untuk mengetahui tata cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan/pawiwahan.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian perkawinan
Menurut UU. No : 1 tahun 1974 pasal 1 mengenai pengertian perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian ini sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat Umat Hindu di Bali, sehingga perkawinan itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama/Kerohanian.
Di dalam membentuk keluarga yang berbahagia itu, erat hubungannya dengan keturunan maka dari itu perkawinan juga mempunyai pengertian untuk mengadakan kelahiran/reinkarnasi yang berfungsi sebagai pembayaran hutang kelahiran pada Orang Tua/Leluhur yang akan disalurkan pada pemeliharaan dan pendidikan anak.
Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis, tetapi perkawinan mempunyai makna yang identik dengan upacara yadnya Samskara (Sekramen) yang menyebabkan kedudukan dari lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hukum agama.


2.2. Makna dari perkawinan/pawiwahan
UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut "Mekala-kalaan" (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan "Kala Bhucari" sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata "kala" yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam "sebel kandel".


Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita

2.3. Peralatan dari upacara perkawinan

1. Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih
Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

2. Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

3. Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

4. Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

5. Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

6. Tegen – tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Perangkat tegen-tegenan :
  • Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
  • Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma
  • Periuk simbol windhu
  • Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi)
  • Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.

7. Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

8. Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

9. Sapu lidi (3 lebih)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga

10. Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian
Telor bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

11.Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.



Contoh
Tabel:
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana
1
Segehan cacahan warna lima.
2
Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3
Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4
Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5
Pejati.
6
Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7
Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8
Bakul.
9
Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih
Waktu
Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa).
Tempat
Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana
Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1
Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2
Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3
Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan.
Mantram-mantramnya
1. Mantram prayascita.
Artinya :
Om Hrim, Srim, Nam, Sam, Wam, Yam, sarwa rogra satru winasaya rah um phat. Om Hrim, Srim, Am, Tarn, Sam, Bam, Im, Sarwa danda mala papa klesa winasaya rah, um, phat. Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka wenasaya rah um phat. Om siddhi guru srom sarwasat, Om sarwa wighna winasaya sarwa klesa wenasaya, sarwa rogha wena saya, sarwa satru wenasaya sarwa dusta wenasaya sarwa papa wenasaya astu ya namah swaha.
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana, dan lain-lain menjadi sirna.

2. Mantram bhyakala.
Artinya:
Om indah ta kita dang kala-kali, peniki pabhyakalane si anu (sebut namanya) katur ring sang kala-kali sadaya, sira reko pakulun angeluaraken sakvvehing kala, kacarik, kala patti, kala kaparan, kala krogan, kala mujar, kala kakepengan, kala sepetan, kala kepepek, kala cangkringan, kala durbala durbali, kala Brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak sariranipun. Si anu (sebut lagi namanya) sama pada keluarana denira Bethara Ciwa wruh ya sira ring Hyang Ganing awak sarirania, kajenengana denira Hyang Tri Purusangkara, kasaksenan denira Hyang Trayodasa saksi, lahya maruat Sang kala-kali mundura dulurane rahayu den nutugang tuwuhipun si anu (sebut lagi namanya) tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhiputra listu ayu.
Wahai Sang Kala-kali inilah upacara bhyakalanya si anu yang disuguhkan kepada Sang Kala-kali. Kiranya dapatlah oleh-Mu dikeluarkan segala perintang yang ada pada diri si anu ini yang juga diperintahkan oieh Hyang Widhi Siwa dan leluhurnya, sehingga dengan demikian ia dapat menyucikan dirinya untuk selanjutnya disemayami oleh Hyang Tri Purusa (Parama Siwa, dan Siwatma) serta disaksikan oleh Hyang Trayodasa saksi (ke tiga belas saksi).

3. Mantram mejaya-jaya.
Artinya:
Om dirghayur astu ta astu, Om Awighnam astu tat astu, Om Cubham astu tat astu, Om Sukham bhawantu, Om Pumam bhawantu, Om sreyam bhawantu. Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Om Hyang Widhi Wasa semoga dianugerahi kesejahteraan, kebahagiaan dan panjang umur.


2.4. Tata upacara perkawinan/pawiwahan
Tata upacara perkawinan dilaksanakan setelah kedua belah pihak dari kedua mempelai memberikan persetujuan yang kemudian oleh keluarga yang bersangkutan, dalam hal ini dari Purusha memohonkan hari baik kepada Pendeta yang nantinya sekaligus akan menyelesaikan upacaranya secara agama. Tata upacara yang dilaksanakan ada 3 fase, yaitu :
1). Upacara Pendahuluan
Pelaksanaan upacara ini bertujuan agar kedua mempelai yang bersangkutan sekedar dihilangkan “Sebelnya” sehingga wajar nantinya dilanjutkan dengan upacara berikutnya. Dengan dilaksanakannya upacara ini, berarti sudah bernilai suci untuk keluar rumah, masuk ke Pemerajan/Sanggah dan sebagainya.
2). Upacara Pokok
Upacara ini merupakan upacara “Peresmian/pemuput” baik secara agama, adat dan kemasyarakatan yang bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesahannya. Maka dari itu, upacara ini merupakan klimaksnya dari pelaksanaan upacara perkawinan, karena dalam upacara ini dilakukan pembersihan secara rohaniah terhadap bibit kedua mempelai yang dipersaksikan secara niskala. Upacara yang bersifat peresmian ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
            Adanya banten yang dihaturkan ke Surya dan Pemerajan/Sanggah, serta sembahyangnya kedua mempelai kehadapan Hyang Widhi Wasa, Bhatara/Bhatari manifestasinya yang fungsinya merupakan unsur Dewa Saksi
            Adanya unsur manusia saksi dalam wujud yang sebenarnya/nyata dengan hadirnya wakil masyarakat dalam hal ini biasanya dihadiri oleh Prajuru Desa/Klian Banjar ikut menyaksikan saat pelaksanaan upacaranya.
            Adanya banten byakala/pekala-kalaan atau pedengen-dengen yang diayab oleh kedua mempelai yang bersangkutan sebagai sarana penyucian dan unsur Bhuta saksi.
            Adanya banten “Sesayut” yang diayab oleh kedua mempelai yang bertujuan untuk mengikatkan/menyatukan dan meningkatkan pribadi kedua mempelai yang bersangkutan sebagi suami istri.
3). Upacara Mepejati atau Mejauman
Upacara ini adalah merupakan lanjutan dari upacara pokok tersebut di atas. Upacara ini merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan yang bertujuan untuk membersihkan kedua mempelai secara lahir bathin, memberikan bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak yang pada intinya bermakna meninggalkan statusnya dalam keluarga asal dan akan memasuki keluarga baru yang akan dituju dan dibangun berikutnya.
2.3 Tata cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan/pawiwahan
Hal pertama yang dilaksanakan adalah kedua mempelai Mabyakala, dilanjutkan dengan Maprayascita, berikutnya kedua mempelai diminta duduk menghadap Sanggah Kemulan dan pada Banten padengen-dengen. Setelah diadakan pemujaan oleh yang muput Upacara tersebut, maka kedua mempelai diminta sembahyang, dan selanjutnya diupacarai dengan alat-alat yang ada pada pembersihan itu seperti : sisig, keramas, segau, tepung tawar lalu diberikan penglukatan dan kemudian natab banten padengen-dengen.
Setelah natab, kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kemulan/Sanggah Pesaksi, yang tiap kali melewati Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan terhadap Sukla Swanita dan dirinya, ini dilakukan 3 kali. Selanjutnya mempelai laki-laki berbelanja sedangkan mempelai wanita berjualan. Ketika berjalan mempelai laki-laki memikul tegen-tegenan dan mempelai wanita menjunjung sok pedagangan. Upacara jual beli ini menyimbulkan sebagai tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan yang kemudian dilanjutkan dengan merobek tikar pandan yang dipegang oleh mempelai wanita oleh mempelai laki-laki dengan keris yang berada pada penegtegan. Hal ini merupakan simbul pemecahan selaput dara si gadis.
Kemudian dilanjutkan dengan memutuskan benang yang terlentang pada kedua cabang dadap ( Pepegatan) sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya dan kini berada dalam fase lanjutan yang baru yaitu suami istri. Berikutnya dilanjutkan dengan menanam pohon kunir, keladi dan andong di belakang sanggah kemulan bersama-sama dengan suaminya. Selesai upacara ini maka kedua mempelai melanjutkan dengan acara mandi dan ganti pakaian yang nantinya pada sore harinya dilanjutkan dengan melukat, mejaya-jaya, natab dapetan seadanya dan diakhiri dengan mepejati/mejauman ke rumah si gadis yang tujuannya menyatakan bahwa mulai saat ini si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya. Dengan berakhirnya upacara mepejati ini, maka upacara perkawinan itu telah dianggap selesai.





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
  1. Perkawinan memiliki hubungan yang sangat erat dengan Agama/Kerohanian dimana perkawinan tidak hanya sekedar hubungan biologis tetapi juga berfungsi sebagai pembayaran hutang kelahiran pada Orang Tua/Leluhur yang akan disalurkan pada pemeliharaan dan pendidikan anak.
  2. Peralatan dalam upacara perkawinan dalah seperti; sanggah sarya,kelabang kala narerwari, tikeh dadakan, keris, benang putih, tegen-tegenan, suwun-suwunan, dagang-dagangan, sapu lidi, sambuk kupakan,teimpug.
  3. Tata upacara perkawinan/pawiwahan ada 3 tahapan yaitu upacara pendahuluan yang bertujuan agar kedua mempelai dapat dihilangkan ’sebelnya’, upacara pokok yang bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesahan dalam perkawinan dan tahapan terakhir adalah upacara mepejati/mejauman yang bertujuan untuk membersihkan kedua mempelai secara lahir bhatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar